Video Monetize Ninja 468x60
Latest Updates

KETIKA IBLIS MEMBENTANGKAN SAJADAH

Siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum’at, saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk & masuk dari segala penjuru, lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lubang pembuangan air.

Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga, ke dalam syaraf mata, ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah. “Hai, Blis!”, panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid tu. Iblis merasa terusik : “Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!”, jawab Iblis ketus.
“Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci,Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!”, Kiai mencoba mengusir.
“Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru”. Kiai tercenung. “Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu”. “Dengan apa?”
“Dengan sajadah!”
“Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?”
“Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!”
“Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru,Blis?”
“Bukan itu saja Kiai…”
“Lalu?”
“Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar”
“Untuk apa?”
“Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiai! Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam kerenganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah”.
Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus. Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar seenaknya saja membentangkan sajadahnya, tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang. Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil membentangkan saja sajadahnya, sehingga sebagian sajadah yang lebar tertutupi sepertiganya.
Keduanya masih melakukan sholat sunnah.
“Nah, lihat itu Kiai!”, Iblis memulai dialog lagi.
“Yang mana?”
“Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka”.
Iblis lenyap.
Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf.

Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan melihat kebenaran rencana yang dikatakan Iblis sebelumnya. Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil kembali berada di bawahnya. Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa.
Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi di atas, ketimbang menerima di bawah. Di atas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas.

Pemilik sajadah lebar, diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat harus lebih di atas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa.

Di atas sajadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain.
“Astaghfirullahal adziiiim “, ujar sang Kiai pelan.


Sumber

PETUAH BISU SI ANAK CACAT

Teriakan gembira dari seorang ibu yang menerima telegram dari anaknya yang telah bertahun-tahun menghilang. Apalagi dia adalah anak satu-satunya. Anak tersebut ditugaskan 4 tahun yang lalu untuk mengikuti wajib militer dalam perang Vietnam, dan sejak 3 tahun terakhir tak pernah terdengar kabar beritanya. Hingga akhirnya setelah menunggu berita sekian lama yang tak kunjung terdengar, akhirnya sang ibu menduga anaknya sudah gugur.

Betapa sangat gembiranya sang Ibu begitu menerima telegram yang di dalamnya tertulis nama anaknya tercinta. Sang anak mengabari kalau tidak lama lagi ia akan pulang dari medan pertempuran.

Keesokan harinya, sang ibu mempersiapkan sebuah penyambutan yang sangat meriah untuk putera tunggal kesayangannya. Bahkan di malam harinya di adakan pesta khusus dengan mengundang seluruh anggota keluarga dan rekan-rekan bisnis suaminya yang kebetulan sang suami adalah seorang Direktur Bank Besar di negerinya.

Siang harinya si Ibu menerima telpon dari anaknya yang sudah ada di bandara.

"Bu... bolehkah saya membawa seorang kawan baik saya...?" sang anak memulai pembicaraan.

"Oh... tentu sayang, jangankan satu nak... lebih dari itu pun Ibu persilahkan, rumah kita cukup besar dan kamar pun cukup buat teman-temanmu, jangan segan-segan nak bawalah ..." jawab ibu sumbringah.

"tapi bu...." sanggah sang anak

"tapi kenapa...?" tanya ibu penasaran

"kawan saya ini seorang yang cacat, dia salah seorang korban perang Vietnam.." jawab sang anak.

"oooohh.. itu sih ga masalah nak..., tapi kalau ibu boleh tau, bagian mana yang cacat? nada suara ibu mulai menurun.

"ia kehilangan tangan kanan dan kedua kakinya...." jawab sang anak dengan nada suara yang ditahan.

Karena tak ingin mengecewakan anaknya, sang Ibu dengan nada terpaksa menjawab, "hhhmmmm... ga apa2 sayang, asal dia tinggal bersama kita beberapa hari saja, ibu kira nggak masalah kok..."

"tapi bu..." sela si anak, "ada satu hal lagi yang harus saya ceritakan ke ibu soal kawan saya...wajahnya juga rusak bu... begitu pula kulitnya, karena sebahagian besar badannya pernah hangus terbakar...., pada saat peristiwa itu terjadi, kawan saya ini ingin menolong temannya yang dengan tidak sengaja menginjak ranjau darat. Sehingga kejadian itu tidak saja membuat tangan kanan dan kedua kakinya harus diamputasi bahkan seluruh badannya pun turut terbakar..!!!". Sang anak meneruskan ceritanya.

Mendengar penuturan anaknya, si ibu pun dengan nada kesal berkata, "nak.., kalau teman kamu diajaknya lain kali saja gimana..? nanti kita undang khusus deh..., untuk sementara suruh saja ia tinggal di hotel biar kita yang tanggung biayanya.."

"tapi bu.... ia adalah kawan baik saya.. dan saya tidak mungkin terpisah dengan dia...!!! jawab sang anak memelas.

Ibu pun mencoba menasehati anaknya, "sayang... cobalah renungkan, ayahmu kan bukan orang sembarangan, dia seorang konglomerat ternama di negeri ini, dan kita sering kedatangan tamu-tamu dari para petinggi dan pejabat penting yang berkunjung ke rumah kita. Apalagi nanti malam ibu dan ayah untuk menyambut kedatanganmu akan mengadakan pesta penyambutan yang meriah yang akan dihadiri oleh teman2 dan kolega ayahmu, bahkan para mentri pun ibu undang untuk hadir..., apa kata mereka nanti bila melihat temanmu itu dalam kondisi tubuh cacat dan wajah yang rusak...? Bagaimana pandangan mereka nantinya.... bukankah itu nanti justru menurunkan martabat dan kehormatan kita dimata mereka...? atau bahkan bisa jadi kehadiran kawanmu itu akan merusak bisnis ayahmu..!!!"

Tanpa sepatah kata dari si anak telepon diputus dan ditutup.

Ibu pun kebingungan ada apa... kok tiba-tiba terputus...

Dimalam hari, kedua orang tuanya sibuk menyambut tamu-tamu yang datang, sambil dengan perasaan harap2 cemas kedua suami istri itu beserta para undangan yang telah hadir menunggu kehadiran putera tercintanya,tetapi hingga tengah malam anak yang ditunggu2 itu tak jua kunjung tiba, hingga akhirnya para tamu undangan pun kelelahan dan satu persatu berpamitan meninggalkan pesta penyambutan meriah itu.

Sang ibu pun sibuk menyalahkan dirinya dan berkata pilu kepada suaminya,"jangan2 anak kita marah pa... karena ibu tidak membolehkannya mengajak teman setianya yang cacat itu untuk datang ke rumah kita....".

Ditengah kebimbangan dan penyesalan suami istri itu, tiba2 di saat waktu menunjukan jam 3 pagi ia menerima telepon dari rumah sakit yang memintanya untuk segera datang ke rumah sakit tersebut. Mereka diminta untuk mengidentifikasi mayat dari seseorang yang diduga bunuh diri. Mayat dari seorang pemuda veteran vietnam, yang telah kehilangan tangan kanan dan kedua kakinya serta wajahnya yang rusak karena terbakar. Tadinya mereka mengira itu adalah tubuh dari teman yang pernah diceritakan anaknya, tetapi ternyata pemuda tersebut adalah anak yang selama ini mereka tunggu dengan penuh kerinduan akan kehadirannya, anak tunggal yang selama ini mereka sayangi.

"Ayah......... ini anak kita, ini putera kita, tidak... tidak mungkin... oh sayang... kenapa ini semua harus terjadi
padamu... ibu sangat merindukanmu, ibu sangat rindu mendekap tubuhmu....ohhh.." sesal sang Ibu dengan derain air mata.

Demikianlah sang ibu yang dikenal tegas dan penuh wibawa itu lunglai, lemas tak berdaya menyaksikan kenyataan yang terjadi didepan matanya.

Demi membela nama besar dan status sosialnya, ia rela mengorbankan orang yang paling dicintainya. Akhirnya mereka benar2 kehilangan anak tunggal yang sangat mereka sayangi.

وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (Al-Maidah:8)

CERITA INSPIRATIF RAMADHAN 30 TAHUN SHOLAT DI TROTOAR

Berikut adalah sebuah kisah wanita dalam melakoni perjalanan hidupnya yang mungkin tak seberuntung anda.

Rosmiza, wanita berusia 57 tahun ini telah mengakrabi jalanan selama 30 tahun. Selama itu pula, pinggiran Jalan Gatot Subroto, Medan, yang sumpek dan ramai oleh lalu lalang kendaraan menjadi tempatnya memuja Sang Pencipta.
Ya, selama itu pula Rosmiza tak pernah meninggalkan sholat, meski harus melakukannya di atas trotoar di pinggir jalan raya. Terik mentari dan guyuran hujan bukanlah alasan baginya untuk tidak menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah.

Suara knalpot sepeda motor dan bunyi riuh klakson kendaraan tak sedikit pun mengurangi kekhusukannya. Jiwanya tetap tenang mengucap seribu doa dan syukur kepada Ilahi.

"Sholat dimana pun akan sama saja, karena bukan suasana yang pengaruhi doa saya," ucapnya sembari tersenyum simpul.

Air wudhu didapatnya dari toko kue atau dealer mobil yang tak jauh dari tempatnya berdagang. Jika hujan, dia solat di teras ruko yang terhindar dari hujan. "Tak ada alasan untuk tidak sholat," tegasnya.

Nenek empat cucu ini sempat meneteskan air mata ketika menceritakan kisah hidup yang belum bisa dikatakan sejahtera. Dia berusaha sambil berdoa, itu yang menurutnya sangat penting. Hingga dia tak pernah merasa pernah terhimpit masalah berat. Dia hadapi semua dengan senyum dan syukur.

Rosmiza sehari-hari berdagang lemang, kue timpan dan nagasari bersama suaminya. Lemang bukanlah buatannya, melainkan dia membelinya dari orang lain. Dia hanya membuat kue tambahan untuk memperbanyak dagangan.

Ketika pagi menjemput, dia berdagang di Pasar Kampung Lalang, tetapi sehabis solat Dzuhur dia berdagang di Jalan Gatot Subroto, tepat di seberang Hotel Alpha Inn, Medan.

Setiap harinya, dia menyelesaikan solat dua waktu (Ashar dan Maghrib) di pinggir Jalan Gatot Subroto, tepat di sebelah sepeda dagangannya.

Tak banyak yang dia dapat per hari, tetapi cukup memenuhi kebutuhan hidup hariannya. Bahkan, dia sudah menyekolahkan anaknya hingga sederajat sekolah menengah atas (SMA) dari hasil berdagang lemang. Dia sebenarnya mau menguliahkan anak-anaknya, tetapi sayangnya tak satu pun anaknya yang berniat mengecap bangku kuliah.

Wajah seorang perempuan yang masih berseri ini percaya kalau hidupnya akan berarti jika terus taat kepada Allah SWT.

"Dunia ini berapalah lamanya, dan saya tidak akan dapat apa-apa dari sini. Kalau mati, akan sirna semua," ujarnya sembari menatap nanar ke arah lalu lalang kendaraan.

[Sumber : tribunnews.com]

Masihkah engkau memilih-milih tempat untuk beribadah?


Sumber

Kedermawanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan Bersedekah

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan kondisi beliau paling dermawan adalah di bulan Ramadhan di saat bertemu Jibril ‘Alaihis salam, di mana Jibril ‘alaihis salam sering bertemu beliau pada setiap malam dari bulan Ramadhan, lalu Jibril mengajarkannya al-Qur`an, dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling (cepat) dermawan dengan kebaikan daripada angin yang berhembus.” (Shahih al-Bukhari Ma’a al-Fath 1/30 nomor 6. Shahih Muslim 4/1803.)

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah pernah sama sekali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diminta suatu (harta) lalu beliau berkata tidak.” (Muttafaq Alaih)

Dari Anas radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimintai sesuatu atas keislaman, melainkan beliau akan memberikannya, sungguh seseorang telah datang kepada beliau, lalu beliau memberikan kepadanya domba yang berada di antara dua gunung, kemudian orang tersebut kembali kepada kaumnya seraya berkata, ‘Wahai kaumku, masuklah kalian ke dalam Islam, karena Muhammad itu memberikan pemberian kepada orang yang tidak takut akan kemiskinan’.” (HR. Muslim)

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, “Bahwasanya para sahabat menyembelih seekor domba lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Adakah sisa darinya?’ Aisyah berkata, ‘Tidaklah tersisa kecuali hanya pundaknya saja,’ beliau bersabda, ‘Tersisa semuanya kecuali pundaknya’.” (HR. Muslim).

Artinya, akan tersisa untuk kita di akhirat kelak, kecuali pundaknya saja.

Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu berkata, “Seorang wanita telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa suatu pakaian, berupa mantel yang terukir pada ujung-ujungnya, lalu wanita itu berkata, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya datang kepada anda untuk memberikan ini untuk anda’, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya, di mana beliau memang sangat membutuhkannya hingga beliau memakainya, kemudian mantel itu dilihat oleh seseorang dari para sahabat beliau, seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, betapa indahnya mantel tersebut, maka berikanlah mantel itu kepadaku?’ Beliau berkata, ‘Ya’, dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak untuk memberikannya, para sahabat yang lain mencela orang tersebut seraya berkata, ‘Engkau tidak bersikap baik ketika melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil mantel itu dari wanita tadi karena membutuhkannya, lalu engkau memintanya padahal engkau tahu bahwa tidaklah beliau itu dimintai sesuatu lalu beliau menolaknya’, dia berkata, ‘Demi Allah, tidaklah ada faktor yang mendorong saya melakukan itu melainkan karena saya berharap keberkahannya ketika telah dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan saya berharap agar saya dikafani dengan mantel tersebut.

Dan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati Bilal, sedangkan di sisinya ada setumpuk gandum, lalu beliau bersabda, ‘Apa ini wahai Bilal?’ Dia menjawab, ‘Saya menyiapkannya untuk tamu-tamumu’. Beliau bersabda, ‘Tidakkah engkau takut bahwa engkau memiliki masakan di Neraka Jahanam? Infakkan wahai Bilal dan janganlah engkau takut kemiskinan dari Dzat Yang memiliki Arsy’.” (Dikeluarkan oleh al-Bazzar dengan isnad hasan, dan ath-Thabrani dari Abu Hurairah yang semisal dengan isnad yang hasan.)

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan janganlah engkau takut kemiskinan dari Dzat Yang memiliki Arsy”, adalah merupakan bentuk keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, berprasangka baik kepadaNya dan bertawakal kepadaNya diiringi dengan melakukan sebab-sebabnya.

Dan dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Abu Dzar radiallahu ‘anhu berkata kepadaku, ‘Wahai anak saudaraku, saya pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memegang tangan beliau, lalu beliau bersabda kepadaku,
‘Wahai Abu Dzar, saya tidak suka memiliki emas dan perak sebesar gunung Uhud lalu saya infakkan di jalan Allah lalu saya meninggal pada saat ajalku dengan meninggalkan sedikit harta.’ Saya bertanya, ‘Bagaimana dengan harta yang banyak?’ Beliau bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, saya memilih yang sedikit sedangkan engkau memilih yang lebih banyak, saya menghendaki akhirat sedangkan engkau menghendaki dunia, cukuplah bagimu harta sedikit saja’, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sebanyak tiga kali kepadaku’.”
(Dikeluarkan oleh ath-Thabrani semisalnya, dan al-Bazzar, serta al-Haitsami berkata, “Isnad al-Bazzar hasan.”)

Sumber: Keajaiban Sedekah dan Istighfar karya: Hasan bin Ahmad bin Hasan Hammam, edisi terjemah cet: Pustaka Darul Haq
Artikel www.KisahMuslim.com

Ceramah Ramadhan: Kisah Umar Menangis

Pernahkah anda membaca dalam riwayat akan Umar bin Khatab menangis? Umar bin Khatab terkenal gagah perkasa sehingga disegani lawan maupun kawan. Bahkan konon, dalam satu riwayat, Nabi menyebutkan kalau Syaithan pun amat segan dengan Umar sehingga kalau Umar lewat di suatu jalan, maka Syaithan pun menghindar lewat jalan yang lain. Terlepas dari kebenaran riwayat terakhir ini, yang jelas keperkasaan Umar sudah menjadi buah bibir di kalangan umat Islam. Karena itu kalau Umar sampai menangis tentulah itu menjadi peristiwa yang menakjubkan.

Mengapa “singa padang pasir” ini sampai menangis?

Umar pernah meminta izin menemui rasulullah. Ia mendapatkan beliau sedang berbaring di atas tikar yang sangat kasar. Sebagian tubuh beliau berada di atas tanah. Beliau hanya berbantal pelepah kurma yang keras. Aku ucapkan salam kepadanya dan duduk di dekatnya. Aku tidak sanggup menahan tangisku.

Rasul yang mulia bertanya, “mengapa engkau menangis ya Umar?” Umar menjawab, “bagaimana aku tidak menangis. Tikar ini telah menimbulkan bekas pada tubuh engkau, padahal Engkau ini Nabi Allah dan kekasih-Nya. Kekayaanmu hanya yang aku lihat sekarang ini. Sedangkan Kisra dan kaisar duduk di singgasana emas dan berbantalkan sutera“.

Nabi berkata, “mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga; sebuah kesenangan yang akan cepat berakhir. Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang yang bepergian pada musim panas. Ia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian berangkat dan meninggalkannya. “

Indah nian perumpamaan Nabi akan hubungan beliau dengan dunia ini. Dunia ini hanyalah tempat pemberhentian sementara; hanyalah tempat berteduh sejenak, untuk kemudian kita meneruskan perjalanan yang sesungguhnya.

Ketika anda pergi ke Belanda, biasanya pesawat akan transit di Singapura. Atau anda pulang dari Saudi Arabia, biasanya pesawat anda mampir sejenak di Abu Dhabi. Anggap saja tempat transit itu, Singapura dan Abu Dhabi, merupakan dunia ini. Apakah ketika transit anda akan habiskan segala perbekalan anda? Apakah anda akan selamanya tinggal di tempat transit itu?
Ketika anda sibuk shopping ternyata pesawat telah memanggil anda untuk segera meneruskan perjalanan anda. Ketika anda sedang terlena dan sibuk dengan dunia ini, tiba-tiba Allah memanggil anda pulang kembali ke sisi-Nya. Perbekalan anda sudah habis, tangan anda penuh dengan bungkusan dosa anda, lalu apa yang akan anda bawa nanti di padang Mahsyar.

Sisakan kesenangan anda di dunia ini untuk bekal anda di akherat. Dalam tujuh hari seminggu, mengapa tak anda tahan segala nafsu, rasa lapar dan rasa haus paling tidak dua hari dalam seminggu. Lakukan ibadah puasa senin-kamis. Dalam dua puluh empat jam sehari, mengapa tak anda sisakan waktu barang satu-dua jam untuk sholat dan membaca al-Qur’an. Delapan jam waktu tidur kita….mengapa tak kita buang 15 menit saja untuk sholat tahajud.

“Celupkan tanganmu ke dalam lautan,” saran Nabi ketika ada sahabat yang bertanya tentang perbedaan dunia dan akherat, “air yang ada di jarimu itulah dunia, sedangkan sisanya adalah akherat“

Bersiaplah, untuk menyelam di “lautan akherat”. Siapa tahu Allah sebentar lagi akan memanggil kita,dan bila saat panggilan itu tiba, jangankan untuk beribadah, menangis pun kita tak akan punya waktu lagi.


Sumber

Anekdot Sufi Nasrudin Hoja - Perlakuan Sama Tapi Hasil Beda

“Segala sesuatu yang ada harus dibagi sama rata,” ujar seorang filsuf di hadapan sekelompok orang di warung kopi.
“Aku tak yakin, itu akan terjadi,” ujar seseorang yang selalu ragu.
“Tapi, pernahkah engkau memberi kesempatan?” menimpali sang filsuf.
“Aku pernah!” teriak Nasrudin. “Aku beri istriku dan keledaiku perlakuan yang sama. Mereka memperoleh apa yang betul-betul mereka inginkan.”
“Bagus sekali!” kata sang filsuf. “Sekarang
katakan bagaimana hasilnya.”
“Hasilnya adalah seekor keledai yang baik, dan istri yang buruk.”


Sumber

Durhaka kepada Orang Tua karena Istri

Ayahku meninggal ketika aku masih kecil. Tinggal ibuku yang selalu merawatku… Beliau bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sehingga mampu membiayai hidupku. Aku anak satu-satunya. Beliau memasukkanku ke lembaga pendidikan, sampai aku menyelesaikan perguruan tinggi. Sampai titik ini, aku masih menjadi anak yang berbakti  kepadanya.

Tiba waktunya aku harus melanjutkan kuliah di luar negeri. Keberangkatanku diiringi dengan pesan ibuku sambil menetaskan air matanya, “Catat baik-baik di lubuk hatimu wahai anakkku, jangan sampai kamu tidak memberi kabar.. sering kirim surat, sehingga saya bisa merasa tenang dengan keadaan baikmu.”

Usai sudah masa studiku setelah menempuh waktu yang sangat lama. Namun aku kembali pulang dengan sosok yang berbeda. Aku banyak terpengaruh dengan budaya barat. Saya mulai memandang miring aturan agama…diliputi dengan semangat materialisme, yang hanya mendambakan harta dan harta. Saya mendapat pekerjaan dengan salary tinggi. Mulailah saya terarik untuk menikah.

Sebenarnya ibuku telah menawari aku untuk menikah dengan wanita yang baik agamanya, sopan, dan menjaga kehormatan. Namun aku tolak, dan aku hanya mau dengan wanita kenalanku, wanita kaya nan cantik jelita. Saya punya mimpi untuk memiliki kehidupan model ‘Aristikrasi’ (menurut istilah mereka).

Setelah menjalani hidup berkeluarga selama 6 bulan, mulailah istriku membuat ulah, sampai membuat ibuku marah. Sampai suatu saat, ketika saya masuk rumah, tiba-tiba saya mendengar tangisan istriku. Spontan aku tanyakan tentang sebabnya, istriku malah mengancam, “Pilih saya atau ibumu yang tinggal di rumah ini… saya sudah gak sanggup tinggal bersamanya..”

Spontan aku jadi seperti orang gila. Aku usir ibuku dari rumah, di saat puncak kemarahanku. keluarlah beliau sambil menitikkan air mata. Ucapan indah yang aku dengar, “Semoga Allah membahagiakanmu wahai anakku…”

Setelah agak mereda, akupun mengejar beliau. Aku mencarinya, tapi terlambat sudah. Ibuku telah menghilang. Aku kembali pulang. Istriku berusaha untuk menenangkan aku. Dia bujuk rayu aku agar mulai lupa dengan ibuku, emas yang paling berharga bagiku..

Aku kehilangan berita tentang ibuku sampai kurun waktu yang lama. Pada kesempatan yang sama, aku menderita sakit parah yang menyeretku ke rumah sakit. Ternyata ibuku mendengar berita tentangku. Beliau datang ke rumah sakit untuk menjengukku. Ketika itu, istriku yang menemaniku. Melihat kehadiran ibuku, dia mengusirnya sebelum sempat menemui anaknya. “Anakmu tidak ada di sini… Apa yang kamu inginkan dari kami… menjauhlah dari kami!!” Ibuku tertatih kembali tanpa sempat menemuiku.

Keluarlah aku dari rumah sakit, setelah opname dalam waktu yang lama. hanya saja, sekarang kondisiku berbalik. Aku kehilangan pekerjaan dan rumah. utangpun mulai bertumpuk. Semua itu disebabkan istriku yang selalu menuntut materi dan materi. Sampai di puncak kesusahan, si cantik istriku mulai tidak betah. “Karena kamu sudah kehilangan pekerjaan, harta, dan posisimu di masyarakat, mulai saat ini aku tegaskan di hadapanmu: ‘Ceraikan aku!”

Ibarat petir yang menyambar kepalaku… akupun mentalaknya. Namun, di balik ini muncul hikmah yang besar. Aku mulai terbangun dari keterlenaan.

Akupun pergi tak tentu arah. Tekadku hanya satu, bisa kembali ke ibuku. Aku harus cari ibuku… sampai akhirnya, aku berhasil menemukan beliau. Tahukah anda, di mana beliau? Di yayasan penampungan orang tidak mampu. Beliau hidup dengan sedekah dari para aghniya (orang mampu).

Aku menemui beliau… ternyata beliau tak kuasa menahan tangisnya, wajahnya mulai pucat. Tak kuasa ku menatap beliau, selain langsung aku rebahkan diriku di pangkuan beliau. Sambil menangis terisak-isak… Kami menangis hampir satu jam.

Aku menuntun beliau untuk pulang ke rumah ibuku. Aku bertekad untuk selalu taat kepada beliau. Aku merasakan kehidupan yang sangat indah. Bersama kekasih seumur hidupku: Ibuku (semoga Allah menjaganya).

Aku memohon kepada Allah agar selalu menutupi kesalahanku dan menjadikan aku bebas dari masalah.

Diterjemahkan secara bebas oleh Ustadz Ammi Nur Baits dari buku: Abnaaun yu’adzibuuna abaa-ahum, hlm. 26 – 28, karya syaikh Khalid Abu Shaleh. Terbitan Darul Wathan.

Sumber

3 tahap puasa ala Imam Al-Ghazali

Menurut Al-Ghazali Puasa itu ada 3 jenis yakni:

Tahap 1 – Puasa al-Umum iaitu menahan diri dari makan dan minum dan perkara-perkara yang membatalkan puasa.

Tahap 2 – Puasa al-Khusus pula menahan lidah, mata, telinga, tangan, kaki dan seluruh anggota badan daripada melakukan dosa.

Tahap 3 – Puasa Khusus al-Khusus iaitu menahan hati kita daripada memikirkan sesuatu selain daripada Allah.

Langkah untuk mencapai 3 tahap itu:

1. Menahan diri kita daripada melihat perkara yang dilarang oleh syariat.
2. Lebih baik diam atau berzikir dan membaca Al-Quran daripada bercakap perkara yang tidak berfaedah, mengumpat dan sebagainya.
3. Menahan diri dari mendengar perkara yang dilarang syariat.
4. Menahan anggota badan daripada melakukan perkara yang dilarang dan menahan perut daripada berbuka dengan makanan yang haram.
5. Jangan makan berlebihan ketika berbuka puasa.
6. Hendaklah timbul dalam hati rasa takut kepada Allah kerana kita tidak tahu apakah puasa kita diterima ataupun tidak.


Sumber

Hikmah dari Nasruddin Hoja

Nasruddin adalah seorang sufi yang hidup di kawasan sekitar Turki pada abad-abad kekhalifahan Islam hingga penaklukan Bangsa Mongol. Sewaktu masih sangat muda, Nasruddin selalu membuat ulah yang menarik bagi teman-temannya, sehingga mereka sering lalai akan pelajaran sekolah. Maka gurunya yang bijak bernubuwat: "Kelak, ketika engkau sudah dewasa, engkau akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apa pun kata-katamu, orang-orang akan menertawaimu."

Nasruddin Hoja adalah seorang muslim yang suci, tapi kadang dia melanggar aturan dengan sengaja melanggar bentuk – bentuk lahir dan upacara agamanya. Pada suatu hari sepulang dari Mekkah, ia singgah di suatu kota kecil di Iran. Penduduk kota sangat menaruh hormat padanya, keluar mengelukannya sehingga membuat kota menjadi gempar. Nasruddin yang jenuh, menunggu sampai di pinggir pasar. Disana ia membeli sepotong roti, lalu memakannya di depan umum. Padahal waktu itu bulan Ramadhan, waktu puasa bagi umat Muslim. Nasruddin yakin dalam perjalanannya dia tidak terikat pada peraturan – peraturan agama.

Tapi pengikut dan penduduk tidak berpikir demikian, mereka begitu dikecewakan oleh perbuatan itu, sehingga meninggalkannya dan pulang. Nasruddin dengan puas bergumam:

"Lihat, begitu berbuat sesuatu yang berlawanan dengan harapan, rasa peduli dan hormat mereka lenyap."

Kebanyakan orang memerlukan orang suci untuk disembah, guru untuk dimintai nasehat. Pssssst, tahukah kamu bahwa ada persetujuan diam – diam: Engkau harus hidup sesuai dengan harapan kami, dan sebagai gantinya kami akan menghormatimu. Suatu ‘permainan’ kesucian !


Sumber : Unknown

MEJA KAYU BUAT AYAH DAN IBU

Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih.

Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan matanya yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah.

Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak. Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. ”Kita harus lakukan sesuatu,” ujar sang suami. ”Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk Pak Tua ini.”

Lalu, suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring dan gelas, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek.

Sering saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada air mata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Meski tak ada gugatan darinya. Tiap kali nasi yang dia suap, selalu ditetesi air mata yang jatuh dari sisi pipinya. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi.
Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua kejadian itu setiap hari dalam diam. Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. ”Kamu sedang membuat apa?” Anaknya menjawab, ”Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu, untuk makan saat Aku sudah besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat kakek biasa makan.” Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, airmata pun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki. Setelah kejadian itu Mereka makan bersama di meja makan seperti semula. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama. Dan anak itu, tak lagi meraut untuk membuat meja kayu.

Renungan

Anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak.
Sahabat….sesering apakah kita menangis mendo’akan anak-anak kita agar tak terjerumus di lembah maksiat yang kini telah menembus seluruh lorong ruang dan waktu ?

Sesering apakah kita meratap memohon agar anak-anak kita memiliki benteng keimanan yang mampu menahan serangan pergaulan bebas dan narkoba yang telah merajalela ?

Sesering apakah kita menumpahkan air mata ini untuk anak-anak kita agar kelak mereka senantiasa memohonkan ampunan untuk kita ketika kita telah terlelap di alam penantian nanti ?
Seering apakah kita mengantar tidur malamnya dengan cerita-cerita indah penuh keteladanan ? dan keteladanan yang mana pula yang sering kita peragakan dihadapan mereka ?

Tiga hal yang akan abadi bersama kita sampai ajal kita datang nanti :
1. Amal Jariah ( Wakaf dan Sedekah )
2. Anak Yang Sholeh yang selama hidupnya selalu mendo’akan kita
3. Ilmu Yang Bermanfaat yang memberi dampak kebaikan kepada banyak orang

Menangislah, karena tumpahnya air mata kita karena takut kepada Allah kelak.


Sumber

Kisah Ramadhan - Mama & Sepotong Roti

Sepuluh tahun yang lalu, di awal Ramadhan. Ketika semua orang bersiap menyambut kedatangan bulan penuh berkah. Saya juga sedang bersiap menyambut kedatangan ‘berkah’ yang sudah lama dinanti-nantikan seluruh keluarga. Empat tahun telah berlalu sebelum berkah itu menghampiri kami. Bahkan jatuh bangun, mencoba segalanya hanya agar senyum ceria seorang anak bisa menghiasi rumah tangga kami yang sunyi.

Dan saya masih ingat dengan jelas malam-malam yang terasa panjang setelah dokter mengumumkan jadwal operasi. Jadwal itu tepat dua hari sebelum Ramadhan tiba. Kami tak lagi bisa mundur karena kehamilan saya saat itu sudah lewat dua minggu dari tanggal kelahiran sseharusnya.

Ramadhan itu, saya menjadi Ibu, namun baru memahami arti ketulusan itu bertahun-tahun kemudian. Ketulusan dari seorang Ibu.

Hari itu, ketika semua orang bersiap-siap menyambut bulan puasa. Saya, Mama dan suami sibuk mengurus administrasi untuk operasi. Saya tegang sekali karena baru pertama kali dioperasi. Mama dengan setia, tak pernah sedikitpun, sama sekali meninggalkan saya yang manja. Sedikit saja Mama beranjak, saya langsung merengek ketakutan. Saya takut, this is my last time to see her.

Saya, sibuk memikirkan diri sendiri. What will happen to me? Dan sama sekali tak memikirkan Ramadhan. Ah boro-boro memikirkan Ramadhan, memikirkan suami dan Mama yang sudah berpuasa sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhan pun tidak. Mereka berpuasa dan berbuka seadanya, bahkan terkadang hanya segelas teh saja yang sekedar menyinggahi tenggorokan mereka berdua. Suami menjalani puasa senin kamis sejak satu tahun sebelum saya hamil, dan makin efektif ketika menjelang saya melahirkan. Saya tak tahu, saat itu suami dan Mama berpuasa untuk keselamatan saya.

Saya benar-benar sadar dari pengaruh obat bius, satu hari menjelang Ramadhan. Rasa sakit plus manja membuat Mama tak bisa bergerak ke mana-mana. Karena saya dan suami baru pertama kali memiliki anak, maka kebingungan pun melanda kami. Saya panik dan takut saat pertama kali menyusui, suami bingung mencari keperluan bayi dengan aneka benda-benda yang baru pertama kali dilihatnya. Mama menjadi orang satu-satunya yang bersikap rasional saat itu, tetap tenang dan mengajari kami berdua dengan sabar. Sampai-sampai kami melupakan persiapan sahur malam pertama Ramadhan itu.

Sebelum tidur, saya kelaparan (mungkin pengaruh berpuasa sebelum operasi dan menyusui). Tak ada makanan yang ada di situ kecuali sebongkah roti. Mama memberi saya roti itu dan saya melahapnya, tanpa bercerita kalau roti itu adalah satu-satunya makanan tersisa untuknya pada saat sahur nanti. Ia bahkan meminta saya menghabiskannya, dan saya bersyukur saat itu saya menolak ketika roti tinggal separuh. Setelah makan, saya tertidur lelap bahkan ketika Mama sahur sendirian dengan sepotong roti sisa saya itu. Tak ada warung atau restoran buka pukul 3 pagi di rumah sakit itu, bahkan air panas untuk menyeduh teh pun tidak tersedia. Mama dengan kesabarannya, memilih tetap berpuasa meskipun dari sore ia belum melahap apa-apa selain setengah potong roti itu.

Esok paginya, awal Ramadhan. Lagi-lagi Mama memperlihatkan ketulusan yang takkan pernah saya lupakan. Tanpa peduli ia sedang berpuasa, Mama melayani semua kebutuhan saya yang tidak berpuasa. Mama menyediakan makan dan minum saya tepat waktu. Mama juga tetap membantu saya mengurus bayi saya, meski suami datang untuk menggantikannya menjaga saya. Tetap saja Mama tidak mau meninggalkan saya. Mama tahu, saya masih sangat muda saat itu dan manjanya bukan main. Dengan sabar, Mama terus mendampingi dan mengurus saya. Tak pernah sekalipun saya mendengar Mama mengeluh. Selama setengah Ramadhan, Mama masih mendampingi saya. Mengantar saya ke rumah sakit, bangun tengah malam mengurus bayi menggantikan saya yang kelelahan bahkan ketika harus pulang karena saya merasa sudah bisa mengurus anak, Mama begitu berat meninggalkan kami.

Berbulan-bulan kemudian, saya baru tahu cerita itu dari Papa. Mereka mengenangnya sebagai sebuah pengalaman biasa saja. Tapi tidak untuk saya.

Setiap Ramadhan, saya teringat pengalaman Mama. Mama yang tetap menjaga saya, Mama yang tetap berpuasa dan Mama yang tetap menyimpan kesulitannya tanpa sedikitpun mengeluh. Saya akhirnya memahami, ketika apa yang kita lakukan itu adalah kebaikan dan tidak dihargai, Allah sedang mengajari kita arti ketulusan. Dan saya melihat ketulusan itu pada Mama. Pelajaran yang ingin saya ajarkan pada anak-anak.

Jika suami mengajarkan anak-anak tentang ketulusan para Nabi, maka saya memberi contoh ketulusan Mama pada anak-anak. Orang yang juga sangat dekat dengan cucu-cucunya. Anak-anak mungkin tidak tahu, tanpa sadar pengalaman Mama dan sepotong rotinya juga membuat saya belajar banyak. Ketulusan Mama sebagai seorang Ibu, takkan bisa diukur kedalamannya. Ketulusan Mama sebagai seorang muslimah, takkan bisa diukur berapa besarnya karena Mama melakukannya bersamaan tanpa peduli deritanya sendiri.

Saya baru memahami betapa berbedanya kalau tanpa Mama saat melahirkan anak kedua. Lebaran hari kedua, satu bulan lebih cepat dari rencana. Saat itulah saya merasa sendirian, walaupun suami juga tak pernah meninggalkan saya. Satu-satunya yang menjadi kekuatan saya saat itu adalah ketulusan yang pernah Mama tunjukkan. Ketulusan untuk berjuang meskipun tak seorangpun bahkan anak yang saya lahirkan tahu seberapa banyak yang harus saya lakukan. Pikiran dan tenaga saya semua hanya untuk memperjuangkan kelahiran anak kedua agar lahir dengan selamat.

Dan ketika saya bercerita tentang ini sekali lagi. Mama pasti tertawa saja. “Ya itulah kodrat seorang perempuan, Nak. Jadi Ibu, harus tulus mengurus putra putrinya, sebagai umat dia juga harus tulus beribadah pada Tuhannya dan sebagai seorang istri dia harus tulus mengurus suaminya.”

Saya ingin menjawab. Tidak semua perempuan seperti itu Ma, tidak semuanya. Kalau Mama tak mengajari saya, saya takkan pernah belajar untuk tulus menjadi seorang Ibu, tulus menjadi hamba Allah dan tulus menjadi seorang istri.

Ramadhan, adalah bulan dimana kita belajar arti ketulusan. Ayah yang tetap bekerja meski sedang berpuasa karena tulus mencari rezeki untuk keluarganya, Ibu yang tetap memasak meski hidangan dengan wangi menggoda karena tulus menghidangkan masakan terbaik untuk keluarga, dan anak-anak yang berpuasa karena belajar ketulusan melihat kedua orangtua dan orang-orang dewasa di sekitar mereka.

Sumber

Sepotong Kepala Ayam Untuk Ayah

Ketika sore sepulang kerja seorang suami melihat istri yang tertidur pulas karena kecapekan bekerja seharian di rumah. Sang suami mencium kening istrinya dan bertanya, 'Mah, udah sholat ashar belum?' Istrinya terbangun dengan hati berbunga-bunga menjawab pertanyaan suami, 'sudah yah..' Istrinya beranjak dari tempat tidur mengambil piring yang tertutup, sore itu istrinya memasak kesukaan sang suami. 'Lihat nih, aku memasak khusus kesukaan ayah.' Piring itu dibukanya, ada sepotong kepala ayam yang terhidang untuk dirinya.

Sang suami memakannya dengan lahap dan menghabiskan. Istrinya bertanya, 'Ayah, kenapa suka makan kepala ayam padahal aku sama anak2 paling tidak suka ama kepala ayam.' Suaminya menjawab, 'Itulah sebabnya karena kalian tidak suka maka ayah suka makan kelapa ayam supaya engkau dan anak-anak mendapatkan bagian yang terenak.' Mendengar jawaban sang suami, Terlihat butir-butir mutiara mulai menuruni pipinya. Jawaban itu menyentak kesadarannya yang paling dalam. Tidak pernah dipikirkan olehnya ternyata sepotong kepala ayam begitu indahnya sebagai wujud kasih sayang yang tulus kecintaan suami terhadap dirinya dan anak-anak. 'Makasih ya ayah atas cinta dan kasih sayangnya.' ucap sang istri. Suaminya menjawab dengan senyuman, pertanda kebahagiaan hadir didalam dirinya.

Teman, Kita seringkali mengabaikan sesuatu yang kecil namun memiliki makna yang begitu besar, didalamnya terdapat kasih sayang, cinta, pengorbanan dan tanggungjawab sekalipun sesuatu yang kecil itu adalah sepotong kepala ayam. Semoga cerita diatas kita bisa mengambil hikmah dengan mencintai setulus hati keluarga kita.


Sumber

KISAH SEDIH PENYESALAN SEORANG ANAK TERHADAP PENGORBANAN IBUNYA

Semoga Pembaca Merasa Tersentuh Dengan Membaca Kisah ini Dan Sdar Betapa Pentingnya Kita Untuk Menghargai Jerih Payah Orang Tua Terhadap Anaknya.

Sebuah kisah yang semoga bisa menginspirasi Anda untuk selalu menyayangi anggota keluarga Anda sepenuh hati.

Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, seorang anak laki-laki bernama Tiros meluluskan pendidikannya di SMA, namun sayang pada saat kelulusannya dia tidak pernah menyertakan atau mengajak ibunya. Tiros merupakan satu-satunya anak yang dimiliki oleh ibu Suti, dan anugrah dari Tuhan yang sangat berharga bagi diri ibu Suti.

Ayah Titos meninggal dunia saat dia masih dalam kandungan, hanya Tiroslah yang menjadi tumpuan
hidup ibunya sehingga dia kuat untuk menjalani hidup.

Pada suatu saat Tiros berkata pada ibunya :
“ Ibu, aku malu sama teman-temanku, mereka memiliki ibu yang sempurna secara fisik dan mereka bangga terhadap ibu mereka, tapi aku bu, mengapa aku memiliki ibu yang buta. Andai saja aku tau, aku dilahirkan oleh seorang ibu yang buta maka aku lebih memilih untuk tidak dilahirkan”

Mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya ibu Suti berkata :

“ Nak, ibu memang buta, tetapi
walaupun kau malu dengan keadaan fisik yang ibu miliki, ibu tetap sayang padamu nak. "

Tirospun menjawab : “ Bu, semua teman-temanku selalu menghinaku, bahkan tidak ada satu perempuanpun yang suka padaku karena melihat fisik ibu yang tidak sempurna. Mereka takut jika kelak menikah denganku anak kami juga akan cacat, buta seperti ibu ”.

Mendengar perkataan anaknya ibu Suti begitu terpukul dan menangis, namun demikian ibu Suti tetap sayang dengan anaknya Tiros dan tak henti-hentinya ibu itu berdo’a untuk anaknya.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, akhirnya Tiros menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Teknik. Betapa bangganya hati ibu Suti mendengar anaknya akan diwisuda dan menjadi seorang Insinyur, tak sia- sia pengorbanan ibu Suti selama ini dengan berjualan di pasar untuk menyekolahkan Tiros, tak kenal lelah bu Suti berkerja walaupun dalam keadaan matanya yang buta.

Sampailah saat yang ditunggu tunggu, saat Tiros dan yang lainnya akan diwisuda. Teman-teman Tiros berserta orang tuanya dan keluarga berkumpul menantikan acara dimulai, tetapi ibu Suti sama sekali tidak diajak Tiros untuk menghadiri wisuda tersebut.

Akhirnya ibu Suti datang sendiri keacara tersebut, sesampainya ditempat Tiros akan diwisuda,betapa bahagianya hati sang ibu Suti mendengar nama anaknya dipanggil kedepan dengan nilai terbaik.

Namun tidak Tiros, dia sangat malu
terhadap teman-teman dan kekasihnya ketika mengetahui ibunya juga hadir di acara wisuda itu, acara yang seharusnya menurut Tiros membuatnya bahagia.

Pada saat itu, ibunya mendekati Tiros sambil meraba-raba wajah anaknya, dan kekasih Tiros bertanya pada Tiros :
“ Siapa perempuan buta itu ? "

Tiros tidak menjawab dan hanya diam membisu. Akhirnya ibu Suti berkata bahwa dia adalah ibunya Tiros, mendengar ibunya berkata
demikian, Tiros akhirnya pulang sebelum acara selesai dan meninggalkan ibunya senidirian.

Setelah acara selesai akhirnya ibu Suti juga pulang kerumah tanpa anaknya Tiros. Namun siapa yang tau kapan ajal akan tiba, ketika hendak menyebrang jalan ibu Suti meninggal dunia.
Hanya tas kecil dan sangat lusuh yang selalu dibawa kemanapun ibu Suti saat berpergian. Betapa terkejutnya Tiros ketika pihak rumah sakit mengabarkan bahwa beberapa menit yang lalu ibunya telah meninggal akibat kecelakaan. Dan
petugas kepolisian memberikan tas yang dibawa ibunya pada saat menghadiri wisuda, Tiros hanya
diam duduk menunggu ibunya yang masih dibersihkan dari sisa-sisa darah yang masih menempel di tubuhnya.

Pada saat menunggu jenazah ibunya, Tiros membuka tas kesayangan ibunya yang lusuh dan
kumal itu. Disana terdapat foto ibunya ketika mengandung Tiros, pada saat Tiros masih bayi,
dan betapa terkejutnya Tiros ketika membaca sepucuk surat yang begitu lusuh yang terdapat didalam tas ibunya.

Tiros membaca surat tersebut, dan didalam surat itu tertulis :

“ Banjarmasin, 12 Oktober 1984, Anaku Tiros yang sangat kucintai, bayi mungilku yang sangat kusayangi, betapa kau sangat berharga dihati ibu nak. 
Walaupun kau buta dari lahir tetapi ibu sangat menyayangimu, kaulah anugrah terindah yang ibu miliki. Nak, ini adalah surat terakhir yang ibu tulis, karena besok ibu sudah
tidak bisa lagi menuliskan kata-kata diatas kertas. 
Karena besok ibu akan mendonorkan kedua mata ibu untukmu nak, agar kelak kau dapat melihat dan menikmati indahnya dunia, anugrah yang diberikan Tuhan. Nak suatu saat jika ibu sudah tiada dan kau ingin melihat ibu, berkacalah nak, karena dimatamu ada ibu yang selalu menemanimu ”

Akhirnya tanpa terasa air mata Tiros mengalir dan sudah terlambat bagi dirinya untuk membahagiakan ibunya. Tiros teringat dengan semua perbuatan yang ia lakukan terhadap
ibunya, dia hanya duduk terdiam tersimpuh di depan kaki ibunya yang telah terbujur kaku.

Semua telah terjadi dan kini ibunya telah pergi untuk selama-lamanya.

Dalam hal ini mengajarkan betapa besar kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, tanpa mengharapkan balasan. Ibu selalu dengan ikhlas memberikan apapun yang dimilikinya termasuk jiwanya sendiri.

Bagi anda yang sudah membaca cerita ini, bahagiakanlah ibumu selagi beliau masih hidup meskipun ada kekurangan dalam Hidupnya, jangan biar kan Ibu mu meneteskan air mata karena anda.

Cerita Motivasi - Kisah inspiratif dari Rick dan Dick Hoyt

Cerita motivasi - Cerita ini nerupakan cerita motivasi tentang keteguhan hati seorang anak manusia dan kepercayaan seorang ayah. Mungkin anda sudah pernah membaca atau mendengar cerita motivasi berikut ini. Ia lahir di tengah keluarga yang biasa-biasa saja. Adalah anugerah bagi setiap orang tua ketika menantikan kelahiran sang buah hati. Dalam penantian anak pertama, Dick Hoyt seperti umumnya para orang tua mempunyai harapan-harapan indah. Segudang rencana telah ia sediakan untuk anaknya. Dick mendapatkan anak yang terlahir pada tahun 1962 dengan proses kelahiran yang sangat sulit. Bayi itu diberikan nama Rick Hoyt. Tali pusat Rick melilit lehernya, menghalangi aliran oksigen ke otaknya. Proses kelahiran yang sulit dan perjuangan yang tak kenal lelah telah berlalu, namun belakangan dokter mendiagnosis Rick mengalami penyakit cerebral palsy (kelumpuhan otak). Dan ketika usianya telah mencapai delapan bulan, para koleganya menyarankan Dick untuk membuangnya karena sepanjang hidupnya Rick akan membuat susah orang tuanya. Namun Dick Hoyt tidak setuju dengan pendapat koleganya tersebut dan dia bertekad akan membesarkan Rick seperti anak lainnya secara normal. Memang bukanlah hal yang mudah untuk membesarkan seorang anak yang menderita kelumpuhan otak, yang menyebabkan Rick tidak bisa menggerakkan keempat anggota tubuhnya dan tidak bisa berbicara karena lidahnya juga mengalami kelumpuhan. Seumur hidupnya Rick harus hidup diatas kursi rodanya. Tetapi kedua irang tuanya bekerja sama mengajarinya segala hal sebisa mereka dan mengikutsertakannya dalam kegiatan-kegiatan keluarga layaknya orang normal. Untungnya ketika Rick berusia sepuluh tahun, para ahli dari Tufts University menciptakan sebuah alat yang memungkinkannya berkomunikasi melalui alat bantu komputer. Mereka bekerja keras melakukan penelitian dan akhirnya berhasil. Mereka menguji alat tersebut kepada Rick. Kata-kata pertama yang dengan perlahan dan penuh perjuangan diketik rick melalui komputer adalah "Go Bruins". Saat itu, keluarganya yang sedang mengikuti pertandingan Boston Bruins NHL (american Football), menyadari bahwa Rick anaknya adalah penggemar olahraga. Sekitar tahun 1975 dengan melalui proses perjuangan, akhirnya orang tuanya berhasil memasukkan Rick ke sekolah umum, dimana prestasi sekolahnya sangat baik terlepas dari keterbatasan fisiknya, saat itu dunia Rick beubah. Dua tahun setelah bersekolah di sekolah umum, Rick mendengar bahwa akan diadakan lari maraton sejauh lima kilometer untuk menggali dana. Rencananya, hasil pengumpulan dana ini akan disumbangkan pada atlet muda yang mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan. Tergeraklah Rick untuk mencoba mengikuti perlombaan itu. Ia memberi tahu ayahnya bahwa ia akan mengikuti lomba lari tersebut. Dick Hoyt adalah seorang letnan kolonel Air National Guard (Angkatan Udara) yang pada waktu ia berusia tigapuluhan memiliki kekuatan fisik yang kurang baik. melihat keteguhan hati Rick, ia mengatakan " ya lakukanlah". mereka berlari dengan bantuan kursi roda yang sudah dimodifikasi. Dick Hoyt mendorong Rick sambil berlari. Mereka memang tidak memenangi lomba, mereka masuk garis finish kedua dari belakang. Namun ketika memasuki garis finish, Rick menunjukkan senyuman terindah sepanjang hidupnya. Setelah lomba itu berakhir, Rick menuliskan pesan sederhana kepada ayahnya, " Ayah, saya merasa seperti bukan anak cacat". Sejak hari itu kehidupan mereka berubah, sangat luar biasa mereka berubah sehingga menjadikan kisahnya sebagai cerita motivasi yang tersebar di seluruh dunia. Bisakah anda bayangkan, ketika seorang anak lumpuh yang duduk di kursi roda dan tidak berdaya berkata kepada ayahnya, "saya ingin ikut lomba lari amrathon". Ayahnya kemudian menjawab, "baiklah jika itu adalah impianmu, ayah akan meminjamkan kaki dan tangan ayah". Saat itu mereka disebut sebagai Tim Hoyt. Dick membelikan kursi roda yang lebih canggih untuk berlomba, lalu anak yang lumpuh dan tidak berdaya ini bersama ayahnya yang sudah tidak terlalu bugar mulai berlari. Mereka bukannya berlari tanpa tujuan yang jelas, mereka berlari untuk menginspirasi orang banyak di seluruh dunia. Tidak lama setelah lomba lari sebelumnya, mereka segera berlatih dengan serius untuk mengikuti lomba Boston Maraton pada tahun 1981 untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, dalam kurun waktu dua puluh tahun berikutnya, mereka selalu mengikuti lomba tersebut tanpa absen sama sekali. Yang lebih luar biasa, setelah empat tahun mereka mengikuti lomba lari mereka terpacu untuk mengikuti lomba yang lebih dahsyat lagi. Mereka mencoba untuk mengikuti lomba triatlon, yang menggabungkan tiga cabang olah raga yaitu renang, sepeda dan lari jarak jauh. Olahraga ini bukanlah sembarang tantangan, terutama karena Dick tidak bisa berenang an ia harus belajar berenang demi anaknya. Ia telah berjanji untuk meminjamkan tangan dan kakinya kepada Rick untuk mengikuti lomba. Dengan besar hati, Dick Hoyt mau melakukannya. Dick berseru, "jelas karena ia telah memotivasi saya, sebab tanpa Rick saya mungkin tidak akan pernah mengikuti lomba ini. Yang saya lakukan hanyalah meminjamkan kedua tangan dan kaki saya kepadanya, agar ia dapat mengikuti lomba seperti orang lain". Pada tahun 1989, Dick dan Rick sebagai suatu tim mengikuti lomba Ironman Triatlon di Hawai. Untuk bagian pertama Dick harus berenang sambil menarik sebuah perahu kecil dimana Rick duduk diatasnya. Lalu dia naik sepeda sejauh 112 mil dengan Rick duduk di stang sepedanya. Ketika sampai bagian ketiga, Dick sudah kelelahan, namun ia selalu ingat kata-kata Rick : " Ketika saya sedang lari, tampaknya cacat saya hilang. Itulah satu-satunya tempat dimana saya merasa sama dengan orang lain. Berkat semua masukan positif, saya merasa tidak cacat sama sekali. Saya malah meras brilian luar biasa" Tentunya, mereka berhasil memasuki garis finish, mereka berhasil menyelesaikan lomba tersebut dalam kurun waktu relatif sangat baik, yaitu 13 jam 40 menit. Mereka berhasil, mereka telah memotivasi banyak orang di seluruh dunia. Semenjak itu, Rick bahkan berhasil meraih gelar perguruan tingginya sebagai seorang sarjana. Kemudian dia bekerja di Boston University, membantu merancang komputer untuk orang-orang cacat. Dan tentunya, ia masih mengikuti lomba bersama ayahnya, yang saat itu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan sudah pensiun dari pekerjaannya. telah tercatat sampai tahun 2001 Tim Hoyt telah mengikuti 731 lomba, 53 lomba maraton dan 135 lomba triatlon, termasuk empat kategori lomba Ironman, dan mereka akan terus berlari. "tak ada sesuatu pun di dunia ini yang tak dapat kami taklukkan bersama-sama," kata Dick. Cerita motivasi mereka membuktikan bahwa suatu impian dan sebuah tim bisa mengantar mereka kemana pun. Mereka bisa bukan karena menyerah, mereka bisa karena mereka mau menerima dan tetap percaya kepada Tuhan. Jadilah manusia yang berkontribusi bagi umat manusia, bukannya hanya mengeluh dan menuntut pada orang lain. Berpikirlah dari sudut pandang yang berbeda. Sekian cerita motivasi ini semoga benar-benar memotivasi anda untuk melakukan apa saja impian anda.

KISAH ISTRI SOLEHAH YANG KHILAF GARA-GARA FACEBOOK

Dikisahkan seorang pemuda saleh, Sidiq menikah dengan seorang wanita solehah, Anisah. Mereka berdua berasal dari keluarga agamis, terpandang dan mulia. Kedua belah pihak merasa sangat berbahagia dan bersyukur kepada Allah SWt. karena telah dikaruniai pasangan yang sesuai dan cocok dengan hati. Hari-hari yang mereka jalani penuh dengan keceriaan dan kemesraan.

Sidiq kesehariannya bekerja diluar rumah. Ia berangkat pada pagi hari dan pulang pada sore hari. Anisah tinggal dirumah sendirian. Untuk menghibur hati sang istri dan teman dikala kesepian Sidiq membelikan Anisah komputer. Komputer tersebut diletakkan didalam kamar dan disambungkan padanya internet. Awalnya Anisah tidak tahu apa-apa tentang komputer. Sidiqlah yang mengajarkan cara penggunaan komputer. Hingga pada akhirnya Anisah sudah biasa menggunakan komputer sendiri dengan baik.

Sehabis menyelesaikan pekerjaan rumah, Anisah memanfaatkan waktunya didepan komputer, mengakses berita dan mengikuti perkembangan dunia Islam. Waktu pun terus berjalan dan kehidupan mereka tetap harmonis dan tentram. Sehingga sampai pada suatu hari, Anisah masuk ruang chating dan disanalah ia mulai berkenalan dengan banyak orang. Awalnya hanya tanya jawab tentang nama, tempat tinggal, sehingga karena sudah keasyikan pembicaraan menjadi panjang dan lebar. Telah banyak teman dan kenalan Anisah di ruang chating. Dan setiap hari sehabis pekerjaan rumah, Anisah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk chating.

Hingga pada suatu ketika, Anisah berkenalan dengan seorang pemuda di ruang chating, namanya Fatih. Chating mereka lakukan dengan menggunakan kamera. Sehingga diantara mereka saling melihat. Awalnya pembicaran mereka hanya berkisar tanya nama, tempat tinggal dan lainnya. Namun chating ini terus berlangsung setiap hari. Sehingga timbullah rasa suka dihati Fatih pada Anisah. Ia mulai bermanis kata dan merayu. Fatih mulai berkata-kata yang membuat tersentuh hati Anisah. Setan pun tak tinggal diam. Membisikkan kedalam hati Anisah hal-hal yang tidak baik. Anisah berusaha untuk menolak dan melawannya. Namun karena mereka chating setiap hari, dengan saling melihat, akhirnya sedikit demi sedikit timbullah dihati Anisah perasaan suka pada Fatih. Sebenarnya Fatih menyukai Anisah hanya karena kecantikan wajahnya saja, rasa suka yang berlandaskan pada hasrat nafsu. Dan akhirnya Anisah juga terpedaya dengan kata-kata dan ketampanan Fatih yang menjadi teman chatingnya setiap hari tersebut.

Chating itupun terus berlangsung. Dan Sidiq tidak menaruh curiga pada Anisah. Karena ia sangat percaya pada Anisah. Dan Anisah pun sangat pandai menyimpan rahasia. Namun sesuatu yang busuk bagaimanapun pintar menyimpan akan ketahuan juga baunya. Akhirnya Sidiq mulai curiga dengan gelagat Anisah, sehingga setelah ia selidiki akhirnya ia mengetahui bahwa Anisah telah menjalin hubungan gelap dengan seorang pemuda di ruang chating. Fatih sangat marah dan akhirnya ia menjual komputer tersebut. Dan memperingatkan Anisah untuk segera bertobat pada Allah Swt. dan meninggalkan pemuda tersebut. Anisah pun mengakui kesalahannya.

Namun, karena hati telah diberikan pada syetan dan hawa nafsu selama ini, Anisah merasa masih sulit menghilangkan bayangan Fatih dari pikirannya. Hatinya telah terpaut pada Fatih. Sehingga tanpa diketahui oleh Sidiq, Anisah menghubungi Fatih lewat telpon. Ia menceritakan apa yang terjadi dengan dirinya pada Fatih dan tentang perasaannya pada Fatih. Rupanya Fatih telah berhasil menjaring mangsanya. Iapun memanfaatkan kesempatan tersebut, ia mulai merayu dan menggombal. Ia berkata,

“Kalau kamu menyukai dan mencintai saya, tinggalkanlah suamimu! Minta cerailah darinya! Saya akan datang untuk melamarmu dan kamu akan hidup tentram dan bahagia dengan saya.”

Anisah yang telah goyah dan lemah imannya ini mulai terpedaya dengan bujuk rayu dan janji-janji Fatih. Ia telah dipengaruhi oleh syetan dan nafsu, ia lebih memilih Fatih dari pada suaminya. Anisah tidak sadar bahwa syetan dan nafsu sedang menipunya dan ingin menghancurkan dirinya dan kehidupan rumah tangganya.

Akhirnya, Anisah minta cerai pada Sidiq. Dan terjadilah perceraian yang tidak diharapkan tersebut. Anisah pulang kerumah orang tuanya. Keluarganya sangat menyesalkan perceraian tersebut. Dan mulailah Anisah berhubungan dengan Fatih. Fatih sering datang kerumah Anisah dan terkadang mengajaknya keluar rumah, dengan mobil mewah yang dimiliki Fatih.

Hari dan minggu terus berganti, namun Fatih belum juga melamar Anisah. Mereka masih menjalani pacaran. Sampai pada suatu malam, Fatih mengajak Anisah menginap di sebuah hotel dan pada malam itu terjadilah perselingkuhan, terjadilah hubungan yang diharamkan oleh Allah Swt., mereka berzina. Mereka telah dikuasai oleh hasrat nafsu dan syetan.

Hari dan bulan terus berganti, tapi Fatih belum juga datang untuk melamar Anisah. Anisah sangat gelisah dan tidak bisa tenang, ia selalu diberi janji yang tak pasti. Dan sampai pada suatu hari Fatih berkata pada Anisah,

” Wahai wanita yang hina, apakah engkau mengira aku akan menikah dengan wanita seperti dirimu, tidak akan pernah! Aku tidak akan mau menikah dengan wanita murahan seperti dirimu. Engkau tidak lagi berharga, engkau adalah wanita kotor dan hina, engkau tidak layak menikah dengan pemuda terpandang seperti diriku. Aku yakin, kalau sekali sudah berkhianat, kelak engkau berkhianat lagi. Kalaupun engkau kunikahi, kelak bila engkau bertemu pemuda yang lebih ganteng dan lebih kaya dariku pasti engkau akan meninggalkan diriku, sebagaimana engkau telah meninggalkan suami mu yang baik-baik itu. Dan aku tidak mau hal itu terjadi pada diriku, sekarang pergi engkau dari sisiku! Jangan temui aku lagi, aku tidak mau lagi melihat mukamu, aku sudah muak dengan dirimu.”

Anisah pun berlalu pergi dengan membawa luka mendalam di hatinya. Hidupnya telah hancur. Masa depannya telah gelap. Ia telah salah selama ini menilai. Ia telah tertipu dan terpedaya. Penyesalan tidak ada lagi gunanya. Kembali pada suami yang pertama, tak akan mungkin suaminya mau menerima dengan keadaan dirinya saat ini, kembali pada keluarganya, ia merasa malu, ia tidak tahu harus melangkah kemana dan mengadu pada siapa. Hanya kepada Allah Swt. Mengadukan segala kelukaan dan kesalahan yang dilakukan selama ini. Anisah telah menyadari kekeliruannya dan sangat menyesal atas apa yang telah ia lakukan. Tapi, semuanya sudah terlambat.


* * *

Kisah diatas telah memberi kita pelajaran berharga, pelajaran yang sangat berguna dalam kehidupan kita. Bagaimanapun baik dan solehnya seseorang namun ia tidak akan bisa selamat dan bisa memelihara dirinya jikalau ia sendiri telah memberikan dirinya untuk di belenggu syetan dan hawa nafsu. Kisah diatas hanya satu dari puluhan dan bahkan lebih, dari kisah-kisah yang pernah terjadi. Betapa sering hubungan rumah tangga retak dan pecah karena tidak terkontrolnya dan terjaganya interaksi dengan lawan jenis.

Semoga menjadi bahan renungan dan pelajaran bagi kita semua, insya Allah.


Wassalam


Sumber

KISAH KESETIAAN DAN KESABARAN SEORANG SUAMI

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim .... Kembali cerita berikut sedikit saya ambilkan dari kisah seorang sahabat di Surabaya. Sebuah contoh kesabaran dan kesetiaan seorang suami pada istrinya yang patut dijadikan teladan bagi kita semua.
Rumah kontrakan kecil di wilayah kecamatan Wonokromo Surabaya, yang berisi kamar tidur dan sebuah dapur mini menjadi saksi bisu keindahan hidup suami istri ini, Rofi dan Tini.
Kesederhanaan telah menjadi gambaran keseharian mereka. Rofi lelaki asal Surabaya, berprofesi sebagai tenaga kontrak sebuah perusahaan kontraktor bangunan di kota asalnya, dan Tini, istrinya, adalah seorang wanita lugu asal kota Reog, Ponorogo, yang berprofesi sebagai penjual bakso di depan rumah kontrakan mereka.
Rofi adalah tipe lelaki kurus, pendiam dan bersahaja yang hampir setiap hari selalu menyempatkan diri untuk sholat berjamaah di mushola dekat rumahnya.
Sedangkan Tini, wanita yang bertubuh agak gemuk, suka bercanda namun tetap bersahaja seperti halnya suaminya. Dalam kesehariannya, jarang sekali perselisihan ditemukan dalam rumah tangga mereka, sehingga para tetangga menganggap mereka sebagai pasangan yang harmonis.
Hampir sepuluh tahun sudah perjalanan rumah tangga Rofi dan Tini, tapi sayang belum seorang anak pun yang Allah amanahkan kepada mereka.
Resah yang Tini rasakan, apalagi jika melihat suaminya sering menggendong anak kecil, entah anak saudaranya ataupun anak tetangganya. Sedih pula hati kecilnya ketika ia merasa belum bisa memberikan keturunan untuk suaminya dari rahimnya sendiri.
Tapi Tini bukanlah wanita yang lemah dan cengeng, walaupun kondisi fisiknya memburuk karena sakit dan berwajah tak secantik wanita pada umumnya, tapi ia adalah sosok wanita yang tegar dan ikhlas.
Tegar tatkala ujian seperti ini datang melanda dirinya dan ikhlas tatkala mengizinkan suaminya untuk menikah lagi dengan wanita lain agar bisa mendapatkan keturunan dari darah dagingnya sendiri.
Tapi dibalik tegar dan ikhlas yang coba ia tanamkan dalam benaknya, ada jerit tangis yang menyayat dalam jiwanya, jerit tangis seorang wanita. Selayaknya wanita lainnya, ia pun sebenarnya tak ingin dimadu dalam hidupnya. Tapi apa boleh buat, kenyataan membuatnya harus menerima keadaan ini.
Lain halnya dengan Rofi, Rofi tidaklah lelaki seperti kebanyakan. Sebagaimana istrinya, ia pun bukan lelaki lemah yang mudah tergoda bujuk rayu wanita lain meski telah mendapat izin dari istrinya untuk menikah. Ia adalah tipe laki-laki yang sabar dan setia.
Namun sebagai laki-laki normal tentu besar pula keinginannya untuk memiliki anak dari darah dagingnya sendiri sebagai penghibur dirinya tatkala lelah menghampiri, tapi ia tepiskan keinginannya itu jauh-jauh demi menjaga perasaan istrinya.
Lama sudah rasa resah itu melanda hati Tini. Bertambahlah resah itu saat Rofi, lelaki yang dicintainya, mendapat tugas kerja untuk jangka waktu yang lama di kota Sorong, Papua. Sebuah kota yang jauh dari tempat tinggalnya sekarang, Surabaya. Apalagi untuk orang kecil sepertinya, sebuah tiket pesawat ke Papua tentu menjadi barang yang mahal untuk ia dapatkan.
Setahun berlalu sejak keberangkatan suaminya ke Sorong, tak jarang hati Tini merasakan kerinduan yang teramat sangat. Apalagi sejak pertama berangkat hingga kini, belum sekalipun suaminya pulang untuk menjenguknya.
Hanya melalui telepon, suara Rofi yang gagah layaknya seorang laki-laki perkasa dari seberang sanalah yang sanggup meredam kerinduannya walau hanya sesaat. Itupun tidak setiap hari, hanya pada saat-saat tertentu saja suaminya menelpon dirinya.
Bila kemudian kerinduan itu datang lagi menerpa, kembali rasa resah dan gundah menghantui dirinya. Resah jika suaminya menikah lagi tanpa sepengetahuan dirinya. Dan gundah jika suaminya enggan kembali ke Jawa lantaran telah memiliki keluarga baru di sana dengan seorang istri yang cantik dan anak yang lucu.
Tapi ia tetap berusaha tegar dan ikhlas dengan apapun yang terjadi. Hanya doa-doa manis penenang jiwalah yang bisa ia panjatkan sekedar untuk menenangkan hatinya yang gelisah itu.
Belakangan, sudah beberapa lama ini Rofi, suaminya, tak kunjung menelpon dirinya. Tapi ia tetap bersikap tenang. Diingatnya sejumlah dialog yang pernah terjadi diantara mereka sebelum Rofi berangkat ke Sorong, Papua.
Dialog seorang istri yang sedih lantaran ditinggal ke luar kota oleh suaminya dalam waktu yang lama, dan dialog seorang istri yang dengan berat hati mengizinkan suaminya untuk menikah kembali dengan wanita lain.
Tapi ada satu dialog yang selalu kan diingat dan dikenang olehnya, suatu jawaban bijak dari Rofi atas pertanyaan yang ditujukan kepadanya yang cukup membuat hati Tini menjadi tenang,
“Sayang, kamu adalah segalanya bagiku. Allah anugerahkan kamu untukku sebagai pelangi yang senantiasa mewarnai hidupku. Senyummu adalah semangat jiwaku dan tangismu adalah duka batinku.
Jikalau Allah berkehendak mengamanahkan seorang anak untuk kita, tentulah teramat mudah bagiNya. Tapi jika Allah belum menghendaki seorang anakpun untuk kita, mungkin ada rahasia Allah dibalik itu yang takkan mudah kita pahami karena keterbatasan ilmu kita, manusia.
Bila waktunya tiba, anak akan hadir walaupun kita tidak menginginkannya hadir, dan sebaliknya, anak tak akan hadir walau sesusah apapun kita menginginkannya untuk hadir. Karena itu adalah hak prerogatif Allah sepenuhnya yang telah dicatat olehNya dalam Lauhul Mahfudz.
Allah tahu apa yang terbaik untuk kita sekarang. Anak adalah amanah, anak adalah titipan, dan anak adalah tanggung jawab. Mungkin Allah menganggap kita belum mampu dan belum siap untuk memikul amanah itu sehingga Allah menundanya untuk kita.
Seandainya Allah kirimkan seorang anak saat ini, mungkin kamu akan terlalu sibuk mengurus anak kita sampai tak sempat lagi mengurus aku, suamimu, sehingga akupun menjadi terabaikan dan cemburu pada anak kita.
Atau mungkin aku masih belum pantas menjadi seorang ayah karena Allah menganggap aku belum sanggup merawat anak kita lantaran berbagai keterbatasan yang kumiliki.
Sayang, mungkin Allah hendak menjadikan kita selayaknya Nabi Zakariyya yang dengan kesabarannya lalu dianugerahkan padanya seorang anak yang soleh padahal usianya sudah sangat renta.
Atau mungkin Allah tak hendak menjadikan kita selayaknya Nabi Nuh yang diberikannya seorang anak namun kafir lagi mendurhakai Allah, Tuhannya, padahal ayahnya seorang nabi untuk umat di zamannya. Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk kita.
Sayang, aku tahu kamu punya banyak kekurangan. Tapi tak selayaknya aku biarkan kekuranganmu itu menjadi aib bagimu. Aku adalah pakaian terindah untukmu dan kamu adalah pakaian terindah untukku, pakaian untuk menutup segala kekurangan yang ada dalam diriku dan dirimu.
Betapapun banyaknya pakaian mahal dan indah yang bisa kubeli dan kupakai, tapi hanya ada satu pakaian terbaik yang melekat dalam tubuhku, dan pakaian itu adalah kamu.
Pakaian yang lain mungkin akan pudar dimakan zaman, pakaian lain mungkin akan luntur ditelan waktu, tapi kamu, adalah pakaian yang tak akan pernah pudar dan luntur selamanya, karena kamu adalah pakaian terbaik hidupku yang Allah persembahkan untuk aku.
Lalu masih pantaskah aku untuk mencari pakaian-pakaian yang lain? Yang belum tentu bisa kudapatkan pakaian sebaik dan seindah kamu?
Seandainya aku jadi kamu dan aku menyuruhmu menikah lagi hanya karena aku tak dapat memberikanmu seorang anak, betapa naifnya aku telah menyia-nyiakanmu.
Tak terbayangkan olehku betapa sakitnya hati yang kurasakan melihat kamu bercumbu mesra dengan orang lain yang menjadi maduku. Tak terbayangkan pula olehku melihat kamu tersenyum bahagia padahal hatiku hancur luluh lantah bagai ditelan bumi. Demikian juga halnya denganku.
Tak ingin rasanya aku melihatmu menangis karena tak kuasa menahan sakitnya hati diduakan. Dan tak ingin pula aku tersenyum di atas derita batin yang kamu rasakan. Kamu adalah milikku satu-satunya di dunia ini dan begitu pula aku adalah milikmu satu-satunya dalam hidupmu yang tak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Kamu tercipta untukku dan aku tercipta untukmu.
Sekarang kamu tenang ya sayang, jangan bersedih lagi. Insya Allah aku akan menjaga cinta ini untukmu selalu.”
Tit..tit..tit..tit.....
Getar suara pesan singkat dari handphone milik Tini mengejutkan keheningan malamnya. Sambil membuka pesan singkat yang baru diterimanya, diambilnya sebuah bingkai foto Rofi, suaminya, lalu didekapnya erat-erat dalam hangat peluknya. Tak lama pesan singkat itu dibacanya :
”Sayang baik-baik ya di sana, aku kan selalu merindukanmu di sini. I love u …
dari Rofi, suamimu.”
- Oleh : Setetes Peluh Perjuangan -
Wallahu’alam bishshawab, ..
#Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah ....
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat ...
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...
~ o ~
Semoga bermanfaat dan Penuh Kebarokahan dari Allah ...
Silahkan DICOPAS atau DI SHARE jika menurut sahabat note ini bermanfaat ....
#BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#
------------------------------------------------
.... Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahumma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa'atuubu Ilaik ....


Bidadari yang Terbuang

Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com 


Dalam banyak ayat, Allah mengingatkan kepada kita, bahwa ujian, seringkali berasal dari orang-orang yang dekat dengan keseharian kita. Baik yang bernasab layaknya bapak, ibu, saudara kandung, teman hidup baik suami maupun istri. Juga, orang-orang terdekat yang tidak ada kaitan darah seperti tetangga, sahabat atau siapapun yang dekat dalam kehidupan kita.

Tak terkecuali dalam kehidupan bisnis. Hal ini berlaku serupa. Adalah Malin Kundang. Sebuah legenda yang sangat populer. Lantaran bisnis, gengsi dengan kehidupan istri dan mertuanya, ia campakkan orang tuanya. Hingga akhirnya, dia terkutuk. Menjadi batu. Dan namanya, abadi dalam ketidakbaikan.

Tentu, sebagai orang yang berakal. Kita berharap agar tidak menjadi Malin Kundang berikutnya. Karena sebelum ajal menjelang, siapapun kita, bisa menjadi apapun selama kita tidak waspada dalam mendidik diri. Ini niscaya. Karena setan, tidak akan membiarkan kita berada dalam pendukung dan pelaku kebenaran.

Saya ingin menamainya dengan Fulan. Ia hidup di sekitar Jazirah Arab. Kegigihannya dalam berusaha telah mengantarkan dirinya menjadi seorang pebisnis ulung. Ia berpindah dari satu lokasi menuju lokasi lain untuk memperdagangkan komoditinya. Hampir semua tempat, sudah pernah ia jelajahi.

Ia hidup berempat. Bersama istri tercintanya, anak semata wayang penyejuk hati, dan ibu yang sudah tak muda lagi. Ibu yang telah melahirkannya itu, menderita lumpuh. Alhasil, cara hidup nomadennya ini, bertambah berat lantaran harus mengurusi sang ibu. Artinya, ia harus memindahkan ibunya, kemanapun ia beranjak.

Hingga akhirnya, ia mengalami puncak kegelisahan. Dalam gelisah itulah, timbul sebuah ide konyol. Ide yang sama sekali tidak manusiawi. Dan tak layak dilakukan oleh manusia manapun, apalagi dari anak terhadap ibu yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkan dirinya itu. Namun, takdir hendak memberikan pelajaran untuk kita, generasi setelah Fulan tiada.

Ia kemudian berkata kepada istrinya, menyampaikan ide gilanya itu. “Umi, sore ini kita akan beranjak ke daerah lain. Kembali menjajakan barang dagangan kita. Tolong, kemasi semua barang ibu. Kita tinggalkan ibu di tengah sahara. Abi lelah karena ibu sudah sangat merepotkan kita.”

Sang istri, hanya diam. Kemudian mengangguk sembari melaksanakan perintah belahan jiwanya itu. Naluri kemanusiaan sang istri terusik. Namun, sebagai istri, ia tak bisa berbuat banyak.

Hingga akhirnya, apa yang dititahkan oleh Fulan ditunaikan dengan baik. Sang istri, melakukan lebih dari yang diminta. Di samping meninggalkan mertuanya, ia menyertakan anaknya. Mereka berdua ditinggal di tengah sahara. Dengan ancaman mati kedinginan atau diterkam binatang buas.

Sesampainya di tempat yang dituju, Fulan memanggil istrinya. “Umi, dimana anak kita? Aku ingin rehat sejanak sembari bermain dengannya. Agar luruh lelah yang menggelayut selepas perjalanan tadi.”

Tanpa canggung, sang istri menjawab, “Aku meninggalkan anak kita bersama ibu di tengah sahara.” Bagai disambar petir, Fulan langsung menyergap, sembari membentak, “Ha?! Kenapa kau tinggalkan anak kita bersama Ibu? Bukankah aku hanya menyuruh untuk meninggalkan ibu?”

Dengan sangat tenang, sang Istri menyahut, “Jika kubawa anak kita, dan hanya meninggalkan ibu, maka kelak, anak kita akan membuangmu sebagaimana kau membuang ibumu.”

Tanpa kata, Fulan langsung memacu kendaraannya ke tengah sahara. Hingga didapatilah pemandangan yang menyadarkan hati. Ibu dan anaknya tengah dikelilingi binatang buas. Sang anak ketakutan. Dan wanita terbuang itu, tengah mendekap erat cucunya, seraya melindungi. Fulan bergegas mengibas-ngibaskan pedangnya untuk menguisir kerumunan binatang buas yang hendak menerkam ibu dan anaknya.

Setelah aman, ia menyungkur sujud, menangis sejadi-jadinya, meminta maaf, sambil menciumi ibu dan anaknya.

Begitulah. Terkadang, kehidupan dunia bisa membutakan mata hati. Maka dalam cerita ini, istri, ataupun pasangan hidup kita, berfungsi sebagai penyeimbang. Yang mengingatkan di kala kita lupa. Yang meluruskan di kala kita tengah melenceng. Pasangan hidup itu, adalah mereka yang mengulurkan tangannya di saat orang lain enggan untuk membantu.

Sejatinya, orang tua adalah sarana utama bagi suksesnya seorang anak. Meskipun, secara kasat mata, ketika keduanya sudah memasuki senja, keberadaan orang tua nampak merepotkan. Namun, jika kita menggunakan kaca mata langit, keberadaannya adalah sumber kesuksesan.

Dari cerita Fulan ini, kita belajar. Bahwa ibu, dalam berbagai kasus adalah ujian bagi kita anak-anaknya. Dari si Fulan, kita juga belajar tentang hikmah. Bahwa penentangan akan ketidakbenaran, tidak selalu berbentuk kalimat kasar, melainkan dengan tindakan cerdas yang berasal dari hati, hingga sampai pulalah ke dalam hati.

Mari, bahagiakan ibu. Maka Allah, pasti membahagiakan kita.

Sumber