Ayahku menginginkan sebuah hadiah untuk lebaran. Sebuah sorban. Ya, hanya sebuah sorban. Tapi bukan sorban biasa yang bisa kautemui di toko-toko baju di kota kecilku. Melainkan sorban istimewa yang seperti miliknya seorang ustad ternama. Ustadz itu sering tampil di layar kaca, dan kalau tampil selalu mengenakan sorban yang modelnya sama. “Aku ingin sorban yang seperti itu, itu akan menjadi hadiah lebaran terindah untukku.”
Aku tahu, aku harus memenuhi keinginan ayah. Dan aku sudah berusaha semampunya, berkeliling ke pasar dan toko-toko baju di seluruh kotaku. Namun sampai tiga hari menjelang lebaran, sorban itu belum juga kudapatkan.
Kemudian aku mendapat kabar dari seorang tetangga yang kebetulan punya sorban yang mirip dengan ustadz ternama itu. Sorban berbentuk segiempat yang bisa dililit-lilit di kepala. “Dari mana Anda membelinya?” tanyaku pada Pak Haji pemilik sorban. Dan dia menjawab dengan bangganya, “Ini kubeli di Bandung, dari butik muslim. Yang beginian memang cuma ada di Bandung. Di kota kecil ini mah tidak ada. Harganya juga mahal. Lima ratus ribu.”
Kakiku seperti mencelos dari pijakan. “Lima ratus ribu? Belum ongkos ke Bandungnya. Untuk pulang pergi naik bis saja takkan kurang dari dua ratus ribu.” Aku terduduk lesu.
“Daripada repot-repot pergi ke Bandung,” kata Pak Haji. “Beli saja punyaku, tapi harganya sejuta.”
Mataku membelalak seolah mau keluar dari rangkanya. Sejuta? Duh, Pak Haji ini, yang benar saja. Darimana aku dapat uang sebanyak itu? Baiklah, uang sejuta di jaman sekarang tidaklah sangat besar. Namun untuk ukuran pemuda yang masih menganggur sepertiku, jumlah itu cukup untuk membuat leher terasa kaku.
Aku pulang ke rumah dengan hati risau. Kulihat Ayah sedang duduk di kursi goyang, semakin hari kesehatannya semakin mencemaskan. Umurnya bertambah tua, sakit-sakitan dan…kesepian. Anak-anaknya, kecuali aku, sudah pergi merantau ke kota besar. Mereka seolah sudah tak mempedulikan dirinya. Dan sekarang, satu-satunya keinginannya, yakni memiliki sorban yang mirip kepunyaan ustadz favoritnya, nampaknya takkan terkabul.
Aku sedih memikirkan ayahku. Juga sedih memikirkan diriku. Sejak lulus dari SMA, teman-temanku sudah pergi ke luar kota, baik untuk kuliah maupun mencari kerja. Mereka memberikan kebanggaan pada keluarga yang ditinggalkan, baik reputasi sebagai mahasiswa, maupun upah yang dikirim setiap bulannya. Sedangkan aku, hanya bisa duduk di sini, di rumah ini, menunggui ayahku yang semakin larut dengan dunianya sendiri. Dia sudah tua, dan yang dibicarakannya hanyalah kematian. “Kalau aku mati, tolong kuburkan di halaman belakang, di samping nisan Ibumu,” ujar Ayah suatu kali. “Kalau aku mati, kau harus pergi merantau dan menemui kakak-kakakmu,” ujar Ayah di kali yang lain. “Kalau aku mati, siapa yang akan mengurusmu?” isak Ayah sambil memelukku seolah aku ini anak kecil. Hey, umurku bukan 2 tahun, tapi 22 tahun!
Di kesempatan lain, Ayah berubah menjadi pemberang. Seharian marah-marah dan membanting barang. “Berhenti genjrang-genjreng, atau akan kubuang gitar bututmu itu,” hardik Ayah saat melihatku duduk-duduk di teras sambil memetik gitar, menirukan suara serak vokalis ST12.
Semarah apapun Ayah, aku tak pernah merasa tersinggung atau kesal. Aku memaklumi bahwa semakin tua, perangai seseorang akan semakin tak menyenangkan. Ayah kembali menjadi bayi kecil yang rewel, dan itulah siklus kehidupan. Yang muda menjadi tua dan kembali seperti anak kecil lagi. Tapi kalau Ayah sudah menyinggung soal gitarku, apalagi mengatainya sebagai “gitar butut”, kemarahanku langsung terlecut.
“Ayah jangan bilang ini gitar butut. Meski butut, ini adalah masa depanku,” ujarku setiapkali Ayah mengomeli gitarku. Bagi Ayah, aku dan gitarku ini ibarat sosok seniman muda yang kumal dan putus asa, sama seperti yang sering ditemuinya pada sosok pengamen jalanan yang semakin lama semakin memenuhi sudut-sudut kota.
Aku tahu, aku sadar, bahwa aku masih menganggur. Tak bisa memenuhi semua kebutuhan Ayah. Tapi sejak lulus SMA, gitar inilah satu-satunya temanku, dan harapanku. Dengan gitar ini, aku sudah menciptakan beberapa lagu, yang sekarang sudah diputar sebagai jingle-jingle di radio lokal. Aku tak berharap menjadi seorang penyanyi terkenal, namun bagiku gitar ini punya masa depan. Aku akan terus mencipta lagu, dan mungkin suatu saat nanti akan ada yang mau membeli lagu-laguku untuk dinyanyikan para penyanyi terkenal. Aku akan mendapat royalti dari lagu-laguku, dan kata temanku yang sudah hampir lulus sarjana, itu namanya passive income.
Lebaran tinggal dua hari lagi. Pak Haji sudah menanyaiku lagi apakah aku tertarik untuk membeli sorbannya. Aku belum menjawab. Sebenarnya, aku sudah berusaha menelepon kakak-kakakku yang katanya berhasil di perantauan. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang merespon kata-kataku.
“Ayah ingin sorban yang mirip punyanya ustadz di TV? Emangnya Ayah mau tampil di TV! Ada-ada saja kamu,” ujar kakak sulungku yang sekarang sudah jadi karyawan sebuah bank di Jakarta.
“Beliin saja sorban yang ada di pasar, Ayah pasti tidak akan tahu,” kata kakak keduaku yang sekarang sudah jadi manajer toko elektronik di Tangerang.
“Hah, sejuta? Mana ada sorban yang harganya segitu! Cari aja yang dibawah seratus ribu, pasti banyak,” usul kakak ketigaku yang sudah jadi istri pengusaha. Sejak menikah, kakakku yang ini memang jadi agak pelit. Uangnya hanya dipakai untuk ke salon dan belanja, tapi tak sedikitpun tertarik untuk membelikan sesuatu yang disukai Ayah.
Aku masih ingat, selalu ingat, setiap kali lebaran datang, ketiga kakakku akan pulang. Mereka datang dengan mobil mengilap, pakaian bagus, dan oleh-oleh sebagasi penuh. Namun satu yang mereka tak pernah lakukan, bertanya kepada Ayah, apa sih sebetulnya yang beliau inginkan. Mereka menghabiskan banyak uang hanya untuk oleh-oleh yang menurut mereka bagus, mahal, atau hanya dapat dibeli di kota besar. Tapi mereka tak pernah tahu, dan tak mau tahu, hadiah apa yang akan membuat Ayah merasa spesial.
Malam itu, dua hari menjelang lebaran, aku berkumpul dengan teman-temanku seusai sholat tarawih. Seperti biasa kami kumpul di pos kamling, menyiapkan segala sesuatunya untuk keliling kompleks membangunkan sahur besok pagi. Aku memang aktif menjadi pengurus karang taruna dan mesjid selama Ramadhan ini.
Tiba-tiba, Amiruddin, salah seorang dari kami, mengajak aku dan Bondan menjauh. Kami pergi ke tempat yang agak tersembunyi.
“Kalian tahu haji Surya, kan?” Amiruddin berbisik. “Kabarnya dia lagi berangkat ke Semarang, mau lebaran di sana. Rumahnya kosong. Kalau kalian berminat ikut denganku besok malam saat orang-orang sholat tarawih, kita bisa bagi hasil…”
Aku dan Bondan saling berpandangan. Sesaat otakku berputar, berusaha mencerna makna dari kalimat temanku itu. Tiba-tiba perutku terasa mual. Apa ini? Dia sedang membicarakan rencana perampokan?
“Ada dua buah TV 29 inch di ruang tengah, satu lagi di kamar, dan sekotak perhiasan di lemari pakaian,” Amirudin sibuk menjelaskan. Jelas saja dia tahu benda-benda berharga milik haji Surya, karena dia mantan pegawai di rumah itu. Amir pernah bekerja sebagai tukang kebun lalu naik pangkat menjadi sopir pribadi, dan dipecat karena ketahuan pacaran dengan salah satu anak perempuan haji Surya.
“Tugasmu hanya berjaga di luar, memberi tanda kalau ada orang datang, dan sebagai imbalannya, kau boleh memiliki salah satu dari TV 29 inch itu,” bujuknya.
Dengan dada berdebar, aku mulai menghitung-hitung. TV 29 inch kan harga pasarannya sekitar dua juta. Kalau laku sejuta saja, itu akan cukup untuk membelikan Ayah…
Oh, tidak! Aku bergidik dan menggelengkan kepala.
“Tapi ayahmu sangat menginginkan sorban itu, dan memenuhi keinginan orangtua wajib hukumnya,” Bondan yang sudah terkena bujukan Amirudin berkata enteng.
“Iya tapi bukan dengan jalan merampok,” bantahku.
Amirudin tertawa dan menepuk bahuku. “Ya udah terserah. Tapi kalau kamu berubah pikiran, besok malam kita kumpul di pos kamling, aku akan paparkan strateginya. Dan ingat, ini misi rahasia.” Akhirnya, kami bertiga pun bubar.
Malam itu aku tak bisa tidur. Rencana teman-temanku begitu mengusik batinku. Aku mencoba menghapus pikiran yang mengusik itu dengan memetik gitar di kamarku. Namun dari kamar bawah, Ayah terbatuk-batuk keras dan berteriak, “Gitar bututmu itu membuat telingaku sakit!”
Esoknya aku bergerak ke sana kemari, meminjam uang ke sana-sini, kepada teman-temanku sesama pemuda mesjid, dan kepada orang-orang yang suka nongkrong di pangkalan ojek. Tapi seperti sebelum-sebelumnya, tak ada yang bisa membantuku. Hari semakin sore. Adzan maghrib tiba, namun bukannya senang karena bisa berbuka puasa, aku malah cemas. Ketika adzan Isya terdengar, dan orang-orang mulai pergi ke mesjid untuk tarawih, kita kumpul di pos kamling, kata-kata Amirudin terngiang lagi.
Setelah sholat maghrib, aku tidak pergi ke mesjid untuk mempersiapkan karpet untuk sholat tarawih seperti biasanya. Aku mengurung diri di kamar. Bimbang. Lalu kupetik gitar pelan-pelan. Ayah terbatuk dan berteriak, “Bukannya ke mesjid atau ngaji, malah genjrang-genjreng. Makin hari kamu makin seperti berandalan saja!”
Kulemparkan gitar ke sudut kasur. Bunyi senar beradu dengan pinggiran ranjang kayu membuat hatiku resah. Aku semakin gelisah. Sudah seminggu ini batuk-batuk Ayah semakin parah. Sudah beberapa kali aku mengantarnya berobat ke rumah sakit, namun belum sembuh juga. Aku takut Ayah takkan bertahan lebih lama. Sementara keinginannya untuk memiliki sorban belum terpenuhi. Apa yang harus kulakukan? Lusa adalah lebaran, dan besok adalah hari terakhir di mana aku bisa membelikan sorban sebagai hadiah lebaran untuknya.
Aku tahu, sebetulnya Ayah tidak terlalu menginginkan sorban itu. Ayah ingin naik haji. Namun dia tahu, dia tak bisa meminta kepada anak-anaknya, meskipun kalau bertindak pasti kakak-kakakku mau mengabulkannya. Dan sorban adalah semacam pelipur lara hatinya. Hanya itulah satu-satunya hadiah yang ia tahu takkan memberatkan anak-anaknya, namun bahkan kakak-kakakku tak menggubrisnya. Kini hanya aku yang bisa mengabulkan keinginan Ayah – membelikan sorba itu sebagai hadiah.
Tak terasa adzan Isya berkumandang. Amirudin dan Bondan pasti sudah menungguku di pos kamling. Akhirnya dengan sejuta kebimbangan merayap, sekaligus berputarnya akal sehat, kuganti baju koko dan sarungku dengan kaos oblong dan celana jins yang lebih simpel. Lalu pelan-pelan kubuka pintu kamar. Ayah sedang wiridan di kamarnya, dan kupastikan ia benar-benar tidak melihatku. Dengan hati-hati, aku berjalan keluar, menutup pintu dan meninggalkan rumah….
***
Hari lebaran tiba. Suara takbir berkumandang melalui pengeras suara. Kakak-kakaku sudah datang dari rantau semua. Rumah ini jadi terasa ramai dan hangat kembali. Yah, meskipun hanya akan berlangsung dua atau tiga hari, lumayan lah untuk menghapus kesepianku bersama Ayah selama setahun ini.
Tadi malam kami sudah berkumpul bersama, saling melempar canda tawa. Kakak-kakakku sibuk mengangkut oleh-oleh yang mereka bawa dari bagasi. Baju, sarung, peci, dan aneka jenis makanan mahal tertumpah semua di meja, menunggu giliran untuk dibuka oleh Ayah. Namun wajah Ayah tidak terlihat gembira. Kegembiraannya baru terlihat saat ia mengambil sebuah bungkusan kecil yang kuletakkan di antara tumpukkan hadiah mahal itu. Sementara aku menyibukkan diri untuk bermain bersama keponakan-keponakanku, mataku menangkap detik-detik ketika Ayah membuka hadiah itu. Hadiah sorban yang telah lama diimpikannya. Dan kedua matanya berkaca-kaca.
Sepulang sholat ied, Ayah sudah menunggu kami untuk bergiliran sungkeman padanya. Dan sorban itu sudah melilit di kepalanya, membuatnya tampak seperti seorang ustadz betulan. Ketika aku sungkeman padanya, Ayah berbisik. “Aku sudah tahu,” katanya. Ia mengusap kepalaku dan mengucapkan terima kasih. Kurasakan air mata jatuh di pipinya, seperti halnya air mataku juga.
Aku tahu, aku telah banyak mengecewakan Ayah. Sementara kakak-kakakku sudah sukses di rantau, aku masih menganggur di rumah. Tapi aku tahu, Ayah mengerti bahwa aku memilih tetap di rumah agar bisa menemani dan merawat Ayah – sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh kakak-kakakku.
Aku tahu, Ayah mengerti banyak hal tentang diriku, jauh lebih banyak dari yang aku kira.
Dan pagi ini ketika kami berjalan keluar rumah untuk bersalam-salaman dengan tetangga kompleks, terdengar rebut-ribut. “Ada apa ini?” tanya Ayah. Pak RT segera menghampiri kami dan menjelaskan, “Kemarin malam rumah haji Surya dirampok, dan perampoknya sudah tertangkap. Ternyata si Amirudin dan Bondan. Mereka babak belur dihajar warga. Kita harus cepat bantu mengamankan mereka.”
Aku terdiam lama sekali, sementara Ayah menatapku. “Bukankah mereka teman-temanmu?” bisiknya.
Aku tertunduk. Ah, ya Allah, seandainya aku tergoda untuk ikut dalam perampokan itu…
Malam itu aku memang tidak pergi ke pos kamling tempat kami bertiga janjian. Aku…pergi ke rumah seorang teman. Membawa suatu misi yang sangat berat untuk kulakukan: menawarkan gitarku. Yah, meskipun sudah butut, tapi gitar itu sebetulnya mahal dan sudah jarang di pasaran. Gitar itu adalah hadiah dari Ibuku menjelang kelulusan – beliau membelikannya empat tahun lalu sebelum terkena sakit jantung dan meninggal. Karena temanku sudah lama mengincar gitar itu, dia setuju untuk membeli gitar kesayanganku dengan harga sejuta.
Kini gitar itu sudah tiada. Dan Ayah tahu, aku begitu berat untuk melepasnya. Aku menginginkan gitar itu ada di sampingku seperti Ayah selalu menginginkan sorban impiannya itu. Namun bagiku, keinginan Ayah adalah yang terpenting, dan Ayah tahu itu…
Lebaran itu adalah lebaran paling berkesan dalam hidupku. Sekarang Ayah telah tiada, namun aku bersyukur telah memberinya hadiah lebaran terindah yang pernah diinginkannya.****
(Cerita ini merupakan salah satu dari kumpulan kisah inspiratif ramadhan “Ramadhan di Musim Gugur” karya Elie Mulyadi, diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, 2009)
Sumber
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Kisah Inspiratif Ramadhan: Sorban Buat Ayah"
Post a Comment